RADIO KOMUNITAS K FM MAGELANG
GAWE ADEM LAN AYEM
Jln.Muntilan-Dukun,Km 5,Komplek Lantai 2 MTS Aswaja Dukun,Kecamatan Dukun

20 Mei 2014

Home » , , , » Bayang-Bayang Pengingkaran UU Desa dalam Pembahasan RPP

Bayang-Bayang Pengingkaran UU Desa dalam Pembahasan RPP

FDN- Undang-Undang Desa terbaru sudah di sahkan oleh Presiden RI beberapa waktu lalu dengan isi yang baik dan banyak dukungan dari masyarakat dan pegiat Desa. Namun kita masih menunggu PP (Peraturan Pemerintah) soal penerapan UU Desa dengan harapan sesuai kiblat dan fitrah isi UUDesa,dimana menuju desa yang mandiri dan maju atas dasar musyawarah masyarakat desa.
Forum Desa Nusantara- Kontekstualisasi paradigma gerakan pembaharuan desa UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa salah satunya harus mewujud dalam Peraturan Pemerintah (PP). Hingga saat ini PMD Kemendagri masih menggodog dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yaitu RPP Keuangan Desa yang kemudian diberi tajuk RPP Dana Desa dan RPP Penyelenggaraan Desa. Rencananya, tanggal 16 Mei, kedua draft RPP tersebut akan diserahkan kepada Mensesneg. Setelah dicermati dan diperiksan Mensesneg, pada tanggal 21 Mei naskah RPP kemudian akan dibahas oleh Wakil Presiden bersama Kementerian terkait.
Menilik sejenak proses pembahasan RPP beberapa bulan terakhir ini, pemerintah seperti menutup diri. Pasalnya, nyaris tidak ada publikasi informasi terkait dengan capaian perkembangan pembahasan RPP. Dengan kata lain akuntabilitas publik pembahasan RPP perlu dipertanyakan. Benar, pemerintah telah merekrut tim ahli RPP yang merepresentasikan publik, karena mereka berasal dari organisasi masyarakat sipil dan kaum akademis. Tak terkecuali juga melibatkan panel ahli dari kaum akademisi yang diberi mandat untuk mereview substansi RPP yang disusun pemerintah. Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah belum pernah mendiskusikan maupun mengkonsultasikan substansi RPP kepada publik.
Berbeda dengan pembahasan RUU Desa oleh DPR RI beberapa bulan lalu, pembahasan RPP memang sudah menjadi domain pemerintah. Bukanlah tidak mungkin, ketika proses pembahasan tidak melibatkan publik, maka proses pembahasan RPP pun akan bergerak menuju elitisasi paradigma dan ruh pembaharuan UU Desa. Padahal sebagaimana diketahui bersama, UU Desa telah mengandung beberapa terobosan pembaharuan seperti: pertama, pengaturan desa yang berasaskan rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah dll. Kedua, kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan alokasi dana dari APBN untuk desa sebesar 10 persen dari dan di luar dana perimbangan pusat ke daerah. Ketiga, pengakuan negara atas kewenangan desa yang meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal. Keempat, pengakuan negara terhadap Peraturan Desa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) sebagai satu-satunya dokumen perencanaan desa yang harus menjadi rujukan skenario pembangunan desa. Dengan dokumen ini, UU Desa menghendaki adanya penghormatan penyelenggaraan pembangunan nasional yang membasis pada kebutuhan dan hak desa.
Proses pembahasan RPP cenderung menjauh dari suara akar rumput. Hal tersebut berpotensi distortif terhadap semangat UU Desa mewujudkan pembaharuan menuju kemandirian desa. Tulisan bermaksud pembaca sekalian untuk berefleksi atas munculnya skenario pembelokan amanat pembaharuan UU Desa dalam penyusunan RPP. Mendasarkan pada draft naskah RPP Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara versi 12 Mei diketahui beberapa norma pasal yang syarat dengan kepentingan resentralisasi dan pengingkaran terhadap pembaharuan desa.
Pertama, di satu sisi pemerintah tidak menyatakan dalam batang tubuh secara lugas amanat UU Desa tentang besaran alokasi yang harus disediakan APBN untuk desa, hanya di bagian penjelas. Secara redaksional, dalam pasal 3 draft RPP Dana Desa hanya disebutkan “pemerintah menganggarkan dana desa secara nasional dalam APBN setiap tahun”. Di sisi yang lain, pemerintah malah menempatkan Anggaran Dana Desa hanya sebagai bagian dari anggaran belanja pusat non Kementerian/Lembaga dengan status sebagai Pos Cadangan Dana Desa.
Penempatan Anggaran Desa sebagai bagian anggaran belanja non K/L dan berstatus pos cadangan desa sama dengan mengingkari amanat UU Desa. Karena dalam pasal 72 ayat (4) jelas disebutkan bahwa Alokasi Dana Desa paling sedikt 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK.. Maka dari itu, jika pemerintah tetap menempatkan Dana Desa diambil dai pos cadangan, sama artinya APBN mengabaikan hak desa yang seharusnya menjadi prioritas belanja nasional.
Kedua, pemerintah tetap berkeinginan mempertahankan eksistensi ladang 
program
-program sektoral Kementerian/Lembaga, di samping penyelenggaraan program/kegiatan dari pos Dana Desa. Padahal, selama ini banyak program K/L yang bermain di desa tapi malah mengkooptasi desa. Mempertahankan program sektoral dalam instrumen hukum Peraturan Pemerintah rupanya dipandang penting oleh para pemburu rente yang menumpang secara gelap di dalam birokrasi pemerintah yang mulai berubah menjadi kartel bisnis.

Program-program sektoral K/L seperti Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) memang secara konseptual nampak indah, karena menggunakan pendekatan community driven development (CDD). Namun nyatanya pengelolaan program tersebut tidak dilambari dengan koordinasi yang baik antarK/L baik dari aspek perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasinya. Tidak hanya itu, penciptaan kelembagaan baru di desa sebagai ciri khas CDD, ternyata malah menciptakan tradisi rente di kalangan masyarakat desa.
Dalam hal pengelolaan dana program yang konon didisain untuk pengurangan kemiskinan, ternyata dana BLM yang meningkat dari tahun ke tahun tidak signifikan menurunkan angka kemiskinan. Alih-alih, masyarakat desa diwajibkan menyediakan dana sosial yang disebut “swadaya”. Tanpa disadari syarat tersebut malah mengurangi keuangan rumah tangga masyarakat desa di satu sisi, meski menambah anggaran dana proyek BLM di sisi yang lain. Akhirnya, mempertahankan program sektoral K/L dalam pengaturan pembangunan desa sama artinya dengan memutilasi kewenangan desa. Padahal UU Desa telah mengatur sedemikian rupa desa memiliki kewenengan seperti kewenengan berdasarkan asal usul dan kewenangan berskala lokal. Dua jenis kewenangan tersebut selama ini terimposisi karena kebijakan pemerintah yang menjalankan program sektoral tersebut.
Ketiga, untuk memperteguh keberadaan program sektoral dalam penyelenggaraan kebijakan Dana Desa tersebut, RPP melembagakan Pedoman Umum maupun Pedoman Teknis Operasional (PTO) untuk mengatur pengelolaan program-program tersebut beroperasi di desa. Dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) disebutkan: ayat (1) “menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah non kementerian membuat pedoman umum kegiatan yang dapat didanai dari Dana Desa dengan mengacu pada prioritas penggunaan Dana Desa”; ayat (2) “Bupati/walikota dapat membuat pedoman teknis kegiatan yang didanai dari Dana Desa sesuai dengan pedoman umum kegiatan”.
Belajar pada model PTO yang diterapkan banyak K/L dalam proyek-proyek BLM selama ini mengingkari kaidah-kaidah pemberdayaan dan pemandirian desa. Fasilitator sebagai agency pelaksana formal program, secara positivistik mengimplementasikan kelembagaan aturan dan prosedur PTO, tanpa mengutamakan aspirasi dan kritik maupun otokritik dari masyarakat penerima manfaat. Dalam konteks inilah, PTO berubah menjadi mesin penggerus partisipasi masyarakat. Keberadaan program sektoral K/L dan PTO proyek K/L ke desa, dengan demikian berpotensi menggeser peran RPJM Desa dan RKP Desa sebagai satu-satunya kompas arah dan kebijakan desa yang harus dipatuhi oleh pihak manapun yang hendak masuk ke desa.
Sebagaimana diketahui bersama, dalam UU Desa pasal 79 ayat (4) jelas dinyatakan bahwa Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di desa. Semangat dari norma/pasal ini adalah hendak menjadikan desa benar-benar memiliki kedaulatan dalam menentukan nasibnya sesuai dengan visi dan misi, aset dan potensi serta pemetaan masalah maupun alternatif solusinya sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Karenanya seluruh perencanaan, penganggaran hingga pelaksanaan program pembangunan desa sudah saatnya bertumpu pada RPJM Desa dan RKP Desa.
Implikasi lain dari kepentingan mempertahankan program sektoral K/L lainnya adalah ketidakjelasan jaminan Dana Desa sebagaimana telah diatur dalam UU Desa. Ketidakjelasan tersebut dapat bertolak pada dua aspek yaitu 1) sumber keuangannya dan 2) nalar Dana Desa sebagai hak desa, bukan hibah ataupun bantuan sosial dari pemerintah pusat. Dulu, saat pembahasan RUU Desa, baik pihak pemerintah maupun DPR mempertanyakan dari mana sumber keuangan Dana Desa. Kemudian, jaringan gerakan masyarakat sipil pro desa, mengajukan alternatif sumber pembiayaan Dana Desa bisa diperoleh dari konsolidasi anggaran program sektoral. Alasannya adalah fragmentasi budget program-program K/L sangat tidak relevan dengan semangat otonomi desa. Jangankan pihak K/L sendiri, pihak Bappenas sendiri tidak mampu memonitor dan mengevaluasi operasionalisasi program sektoral K/L tersebut. Akibatnya efektivitas dampak pelaksanaan program-program tersebut terhadap capaian visi dan misi RPJMN tidak dapat diketahui oleh pemerintah sendiri.
Karenanya, pada saat itu, mengkonsolidasikan budget program sektoral ke dalam formula Dana Desa menjadi pilihan strategis untuk meminimalisasi inefisiensi dan inefektifitas program sektoral masuk desa. Namun, jika saat ini pemerintah bersikeras tetap memunculkan pos program sektoral dalam struktur APBN, maka pos belanja Dana Desa benar-benar akan menjadi pos belanja yang sifatnya residual.
Sudah saatnya pemerintah menyadari arti pentingnya membangun negara bangsa Indonesia dari desa. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan capaian regulasi nasional terbaik untuk mengaturan dan menata desa. Peraturan Pemerintah sudah seharusnya mampu menterjemahkan dan mengoperasionalisasikan norma dan mandat pembaharuan. Bukan sebaliknya, malah mewadahi kepentingan kelompok pragmatis yang cenderung mengingkari cita-cita besar kemandirian desa menuju negara yang berdaulat, adil dan makmur. Maka dari itu, dalam penyusunan RPP baik RPP Penyelenggaraan Desa maupun RPP Dana Desa, hendaknya pemerintah tetap menjunjung tinggih ruh dan marwah UU Desa yakni terciptanya desa yang demokratis, mandiri, dan sejahtera.[]
FDN: IRE, FPPD, JRKI, Joglo Abang, CRI, INFES, Komunitas Kagem,

Silahkan di komentari menurut pendapat anda,karena komentar anda sangat bermanfaat bagi kami .
Share this article :