RADIO KOMUNITAS K FM MAGELANG
GAWE ADEM LAN AYEM
Jln.Muntilan-Dukun,Km 5,Komplek Lantai 2 MTS Aswaja Dukun,Kecamatan Dukun

2 Jul 2013

Home » » Radio Komunitas = Radio Minoritas ?

Radio Komunitas = Radio Minoritas ?

[dc]M[/dc]asduki, seorang praktisi dan pengamat radio siaran, dalam buku Radioku…Radiomu… Radio Kita seri 1 yang diterbitkan oleh CRI menulis bahwa perkembangan radio komunitas di Indonesia diawali seputar tahun 2000 dan semakin lama semakin meningkat intensitasnya hingga “akhirnya” diakui dalam UU Penyiaran yang baru nomor 32 th. 2002.


Kalau yang menjadi acuan adalah digunakannya istilah radio komunitas, mungkin pendapat Masduki itu benar.  Tapi kalau yang menjadi patokannya adalah munculnya “radio gelap” yang dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat dan memposisikan diri sebagai media alternatif, maka sejauh pengetahuan penulis ada banyak “radio gelap” semacam itu yang muncul di seputar tahun 80-an. Memang ada yang sekedar penyaluran hobi pengelolanya, tapi ada juga yang mencoba dikelola secara sistematis. Salah satu “radio gelap” yang penulis tahu persis adalah Radio Uget-Uget Broadcasting Station di Mergangsan Lor, Kodya Yogyakarta.  Radio yang dikelola para pemuda dan mengudara di band SW1 itu mencoba mengakrabkan pemuda pendatang (anak kost) dengan pemuda kampung untuk mengurangi berbagai dampak pergesekan budaya yang berbeda.  Sayang radio itu hanya berumur sekitar setahun karena “hantu sweeping” segera merobohkannya, dan masyarakat sendiri saat itu sangat takut disebut “melanggar hukum”.

Pada sekitar tahun 1994, penulis bersama beberapa teman sempat mendapatkan ajakan untuk memasyarakatkan radio komunitas sebagai media perubahan atau tepatnya media perlawanan terhadap rezim Suharto. Ide itu muncul dari Romo Rudi Hoffman, yang saat itu bekerja di Puskat Audio Visual Yogyakarta.  Saat itu Romo Rudi mencontohkan eksistensi radio komunitas petani di Equador yang memberikan kontribusi sangat besar atas terjadinya revolusi di negara Amerika Latin itu.  Bagi penulis dan teman-teman, ide itu sulit diwujudkan karena memang kondisi politik saat itu sangat  tidak memungkinkan. Walau begitu Romo Rudi melalui Puskat AV tetap memfasilitasi berdirinya radio komunitas yang berorientasi pada pengembangan dan pelestarian seni budaya yaitu Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani (BBM) Yogyakarta.

Semua yang saya sampaikan tadi, memang locus delicti-nya di Yogyakarta, sangat mungkin di daerah lain pun sebenarnya ada pihak-pihak yang sejak lama telah mengembangkan radio komunitas.
Tampaknya sudah menjadi garis takdir bahwa kelahiran berbagai jenis radio siaran di Indonesia, selalu di “kegelapan”.  Sehingga RRI, radio komersial maupun sekarang radio komunitas harus menjalani status sebagai “radio gelap” (baca: radio tanpa ijin / tanpa pengakuan legal dari rezim penguasa) terlebih dulu sebelum akhirnya diakui dan diatur secara legal formal.

Perjuangan Minoritas

            Sebagai pemain baru di dunia penyiaran Indonesia, radio komunitas bak warga minoritas yang serba terbatas baik SDM maupun sumber daya lainnya.  Bahkan saat ini, radio komunitas masih berjuang melawan dirinya sendiri, terbukti masih banyak pengelola radio komunitas yang masih belum paham benar apa dan bagaimana radio komunitas itu.  Hal itu terjadi karena memang isu radio komunitas ini lahir bukan dari kebutuhan masyarakat tetapi lahir melalui berbagai program LSM yang concern terhadap pemberdayaan masyarakat.  Bukan berarti para penggiat LSM itu salah, tetapi kondisi ini menyebabkan banyak warga yang menjadi dampingan LSM mengoperasikan radio komunitas di saat mereka belum mengerti benar apa itu media (radio) komunitas.  Banyaknya radio komunitas yang lahir dan kemudian berjaringan baik di tingkat propinsi (JRK Jabar dan JRK Yogya) maupun di tingkat nasional (JRKI) tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang sangat elementer ini.

Sejauh pengalaman penulis menemani kiprah teman-teman pengelola radio komunitas, khususnya di Yogyakarta, masih dijumpai adanya radio komunitas yang status kepemilikannya perorangan / pribadi, atau radio komunitas yang memiliki ketergantungan sangat tinggi kepada LSM pendampingnya, atau radio komunitas yang bercita-cita ingin menjadi radio komersial di kelak kemudian hari, atau radio komunitas yang program acaranya lebih sebagai pemuasan selera pengelolanya saja, secara umum banyak radio komunitas yang dalam pengelolaannya mendudukkan warga komunitasnya sebagai konsumen belaka.  Padahal pengelolaan semacam ini sebenarnya seperti menggali lubang kubur sendiri.

Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap radio siaran didominasi oleh pola pikir radio siaran komersial.  Sehingga banyak radio komunitas yang dikelola dengan “gaya komersial” tanpa memahami dengan baik apa yang disebut management radio komersial.  Yang lebih ironis, untuk mempersiapkan “munas” radio komunitas, fasilitatornya adalah orang-orang radio komersial. Kita memang tidak boleh apriori terhadap rekan-rekan radio komersial yang telah mau membantu mengembangkan radio komunitas dengan tulus hati, tetapi tidak bisa dipungkiri sangat mungkin akan muncul bias di dalam proses fasilitasi itu sehingga yang difasilitasi pun akan bias pemahamannya tentang radio komunitas.  Lagi-lagi ini adalah dilema minoritas.
Secara teknis, dengan Kepmen nomor 15 th. 2003, radio komunitas dijatah 3 frekuensi yaitu frekuensi 107,7 – 107,8 dan 107,9 MHz.
Jauh lebih sedikit dari jatah frekuensi untuk radio komersial dan RRI. 3 frekuensi itu akan diperebutkan oleh berpuluh-puluh radio komunitas di tiap propinsi yang pada ujungnya bisa saja menimbulkan konflik antar radio komunitas itu.  Secara prinsip padahal syarat teknis operasionalnya cenderung sama. Proses perijinannya pun sama.  Untunglah banyak orang yang berpendapat bahwa Kepmen itu tidak sah karena salah satu dasar terbitnya keputusan itu adalah UU Penyiaran nomor 32 th. 2002, padahal UU itu saat ini sedang dalam proses Yudicial Review dan belum berlaku efektif karena belum ada peraturan pelaksananya.
Dari sisi legal formalnya, walau sudah diatur dalam UU nomor 32, namun ada beberapa hal yang sangat berat dilakoni oleh radio komunitas. Misalnya tentang Badan Hukum.  Banyak orang berpendapat bahwa Yayasan menjadi alternatif  badan hukum yang paling tepat bagi radio komunitas.  Namun penulis tidak sependapat.  Sama seperti media penyiaran publik, semestinya media penyiaran komunitas (TV dan radio) berbadan hukum khusus, yang bisa saja disebut Badan Hukum Penyiaran Komunitas.  Walaupun yayasan adalah badan hukum sosial (non komersial) namun UU Yayasan yang baru menempatkan Dewan Pembina sebagai otoritas tertinggi. Bisa saja seluruh warga komunitas ditempatkan sebagai anggota Dewan Pembina, namun jangan lupa ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi Dewan Pembina termasuk dalam hal pendanaan.  Selain itu, Menurut UU Yayasan nomor 16 tahun 2001 pasal 1 yang dimaksud dengan yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.   Perdebatan tentang Badan Hukum (BH) radio komunitas ini  sampai sekarang masih terus memanas.  Atau memang dibuat berlarut-larut agar persoalan ini terus menggantung dan perkembangan radio komunitas dapat ditekan seminimal mungkin?

Juga  dalam hal proses perijinannya, semestinya cukup sampai tingkat kabupaten atau propinsi saja, tidak perlu sampai Jakarta (pusat) yang membutuhkan biaya tidak sedikit.  Begitu pula persyaratan teknisnya, semestinya mengacu kepada keadaan riil radio komunitas yang serba terbatas sumber dayanya.
Lalu siapa yang akan memperjuangkan persoalan-persoalan itu, tentu saja yang paling memegang peran penting adalah para pengelola radio komunitas dan warga masyarakat pemilik radio komunitas.  Merekalah yang secara pro aktif mensosialisasikan pentingnya radio komunitas kepada para pengambil keputusan sekaligus mendorong lahirnya perangkat hukum yang berpihak kepada radio komunitas.

Victor Menayang dalam Kata Pengantar buku Penyiaran Alternatif tapi Mutlak mengutip pendapat Ben Bagdikkian (seorang peneliti media dari USA) mengatakan, seperti masyarakat Amerika, saat inipun masyarakat Indonesia dihadapkan pada dua pilihan yang semu antara model yang dirancang untuk memaksimalkan keuntungan dan model yang terang-terangan berisi propaganda. Tapi aturan yang dibuat dan mungkin kelak “dilanggar” lebih memberi ruang kepada dominasi jaringan komersial.  Celakanya kita merasa kebutuhan kita sudah tercukupi oleh sistem media yang ada saat ini, dan tidak perlu ada media alternatif yang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, bukan kebutuhan yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Kusuma Prabawa
Disampaikan pada Workshop dan Pelatihan Radio Komunitas Jawa Tengah JRK Jateng oleh Yayasan MAPEL – 2004 pada Program Pengembangan dan Penguatan Radio Komunitas.

Sumber : http://www.jrkjateng.or.id/radio-komunitas-radio-minoritas/
Share this article :