RADIO KOMUNITAS K FM MAGELANG
GAWE ADEM LAN AYEM
Jln.Muntilan-Dukun,Km 5,Komplek Lantai 2 MTS Aswaja Dukun,Kecamatan Dukun

1 Jul 2013

Home » » Nyadran, Tradisi Tiada Henti di Tepi Merapi

Nyadran, Tradisi Tiada Henti di Tepi Merapi

Magelang- Opini - Menurut hitungan kalender Hijriyyah, nama bulan yang datang sebelum bulan Ramadhan dikenal sebagai bulan Sya’ban. Konon pada bulan tersebut diajarkan kepada ummat Islam untuk mengamalkan keutamaan birul walidain, memuliakan kedua orang tua, baik yang masih hidup maupun yang telah bersemayam di alam baka. Terkait dengan arwah orang tua di alam kubur inilah masyarakat kemudian mengidentikkan bulan Sya’ban sebagai bulan Arwah. Masyarakat Jawa kemudian lebih mengenalnya sebagai bulan Ruwah.
NyadranKrg1
Secara adat dan tradisi, muncullah kemudian ritual nyadran. Istilah nyadran sendiri berasal dari bahasa Sansekerta sradha, yang digunakan ummat Hindu untuk sebuah upacara pemuliaan roh leluhur yang telah meninggal. Dikisahkan bahwa di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, ia pernah menyelenggarakan upaca sradha untuk memuliakan arwah sang Ibunda Tribhuwana Tunggadewi. Setelah kedatangan Islam, ritual tersebut kemudian diadaptasi menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah.
Nyadran biasa diselenggarakan oleh sebuah paguyuban trah makam tertentu. Di masa lalu, pada umumnya sebuah dusun terbentuk oleh seorang cikal bakal. Dari cikal bakal inilah, lahir dan berkembanglah anak, cucu, cicit dan seterusnya yang terdiri atas banyak sekali keluarga-keluarga yang tidak saja masih tetap tinggal di dusun yang sama, namun banyak juga yang telah berpindah kediaman ataupun merantau ke daerah lain. Dengan demikian, nyadran seolah menjadi momentum reuni keluarga besar satu trah nenek moyang.
Citradya9 NdalemKronggahan2
Kronggahan adalah sebuah dusun yang berada di kesejukan kaki gunung Merapi. Tidak tercatat dengan jelas memang sejarah siapa cikal bakal dusun tersebut, hanya saja beberapa dongengan para simbah menyebutkan nama Mbah Kyai Ronggah. Tidak terlalu penting memang membahas keakuratan asal-usul sejarah, namun tradisi nyadran masih berlangsung hingga saat ini.
Nyadran, bagi masyarakat Kronggahan di samping ditujukan untuk bersama-sama mengirimkan doa bakti kepada Allah SWT untuk para arwah leluhur, juga menjadi momentum untuk ngumpulke balung pisah, menyambung kembali jalinan tali silaturahmi diantara sesama anak-cucu Mbah Kyai Ronggah. Berbeda dengan acara sejenis yang diselenggarakan di lingkungan makam, nyadran di Kronggahan beberapa waktu lalu justru bertempat di rumah Pak Bayan atau Prabot (istilah untuk kepala dusun). Kini, seiring semakin bertambahnya jumlah peserta trah makam yang hadir, acara sadranan diselenggarakan di pelataran Masjid Al Iman.
Lebih khusus lagi, pelaksanaan nyadran selalu diselenggarakan pada tanggal 20 Sya’ban. Pemilihan tanggal tersebut bukan atas klenik ataupun wasiat siapapun, hanya saja hal tersebut lebih berdasarkan pertimbangan praktis yang mudah diingat oleh para sanak kadang terutama yang di perantauan. Sangat bisa dimaklumi, era kemajuan komunikasi dengan telepon seluler masih belum terlalu lama sehingga di masa lalu agak sulit dan merepotkan untuk menyebarkan undangan kepada sanak kerabat yang tinggal di daerah jauh. Dengan pertimbangan kangsenan, janjian, di tanggal 20 Sya’ban itulah semua kerabat bisa pulang dusun untuk bersama-sama nyadran, meskipun tidak dikabari atau diundang kembali.
MakamKronggahan1 MakamKronggahan2
Rangkaian persiapan nyadran dimulai dengan kerja bakti atau gugur gunung untuk membersihkan makam yang dilakukan beberapa hari menjelang nyadran. Pada hari pelaksanaan nyadran, seiring jago kluruk menjelang fajar, masyarakat bangun lebih awal untuk mempersiapkan suguhan maupun uba rampe untuk sadranan. Selain untuk menjamu para kerabat dari luar dusun, sadranan juga berupa sajian nasi komplit dengan sayur, lauk-pauk, bakmi, tontho, keper, peyek, hingga krupuk yang ditata di dalam keranjang atau besek untuk dibagikan kepada anak-anak yang datang, juga untuk disangu-kan kepada para sedulur dari daerah jauh. Bingkisan inilah yang juga disebut sebagai berkatan.
Begitu matahari menyingsing, warga berbondong-bondong ke tempat sadranan diselenggarakan dengan membawa urunan sajian sadranan-nya masing-masing. Tak lupa satu per satu mereka memberikan “uang wajib” sebagai dana infak yang dikumpulkan untuk keperluan pemeliharaan areal makam. Kemudian dengan kelompok-kelompok kecil, mereka datang ke makam yang terletak di mburi deso untuk besrik dan ziarah. Kebanyakan sanak-saudara yang berasal dari lain dusun, biasanya mereka langsung datang ke makam untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang lain.
NyadranKrg2
Setelah ziarah, semua kerabat trah makam kemudian berkumpul kembali di tempat sadranan. Masing-masing perwakilan dari keluarga ahli waris menyampaikan “wajib”nya berupa uang infaq atau shadaqah jariyah melalui panitia yang sudah siap di meja penerima tamu. Sambil saling bersalaman, bertegur sapa dengan sanak saudara yang datang dari dusun lain, dan saling melepas kangen, para hadirin duduk dengan hikmat menunggu acara dimulai.
KyaiAbuHasanSerangkaian acara telah siap untuk digelar, mulai dari doa pembukaan, pembacaan ayat-ayat Al Qur’an, serta sambutan selamat datang dari ketua paguyuban makam dan pejabat kelurahan. Acara dilanjutkan dengan pengajian mau’idzah khasanah dari Mbah Kyai yang sengaja diundang. Selesai pengajian, acara diselingi dengan rehat makan bersama. Sebagai inti acara dibacalah kalimat tahlilan yang dipimpin oleh Pak Kaum dengan ditutup dengan doa yang diaminkan hadirin. Seiring kepulangan dan bubar-nya acara, keranjang atau besekan makanan dibagi-bagikan kepada semua hadirin yang berkenan membawanya.
Di masa lalu, keranjang atau besekan tersebut justru menjadi perebutan bagi para bocah dan para kaum fakir miskin yang sedari awal menunggu di arena nyadran. Bahkan secara khsusus, panitia menyediakan semacam kalangan agar pembagian bingkisan nyadran itu bisa berlangsung tertib. Namanya banyak orang, sering terjadi kericuhan dan perebutan karena masing-masing ingin mendapatkan berkah yang berlebih. Adalah sebuah kebanggaan bagi seorang bocah yang mampu ngrentengi enam atau tujuh keranjang, sehingga harus memikulnya bersama kawan yang lain ketika membawanya pulang. Di jaman dulu, barangkali tingkat kemakmuran masyarakat, dalam artian kecukupan pangan masih belum merata, sehingga masyarakat masih terlihat kemaruk dengan rebutan makanan.
NyadranKrg5 NyadranKrg4
Lain dulu, memang lain sekarang! Di arena sadranan sudah sangat sedikit dijumpai para bocah yang berharap akan keranjang atau besekan makanan. Kini sudah tidak ada lagi rebutan di kalangan yang dipagari rigen. Bahkan para tamu dari dusun yang lainpun sudah enggan untuk membawa keranjang makanan yang diberikan kepadanya. Mungkin mereka sudah tidak lagi nggumun dengan makanan, dan justru merasa ribet jika perjalanan jauh mereka direpoti dengan sekeranjang nasi komplit lauk-pauk tersebut. Jaman memang telah bergeser, namun makna hakikat tradisi nyadran untuk mendoakan arwah para leluhur semoga akan tetap lestari sebagai sebuah nilai kearifan lokal yang bersanding secara harmonis dengan laju kemajuan jaman.
NyadranKrg3
Ngisor Blimbing, 1 Juli 2013

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/02/nyadran-tradisi-tiada-henti-di-tepi-merapi-573641.html
Share this article :