RADIO KOMUNITAS K FM MAGELANG
GAWE ADEM LAN AYEM
Jln.Muntilan-Dukun,Km 5,Komplek Lantai 2 MTS Aswaja Dukun,Kecamatan Dukun

26 Feb 2013

Home » » LPK Dalam Pemilu

LPK Dalam Pemilu


JRKI – Tahun 2013 di Negara Kita Republik Indonesia sedang bergejolak dan santer-santernya program pemerintah yakni soal Pemilu (Pemilihan Umum) dimana bertujuan untuk memilih kepala daerah dari tinggkat Desa/Kelurahan,Kabupaten/Wali Kota sampai Gubernur.
Maka dari itu dimana pemilu ini sungguhlah hal yang sudah tidak tabu lagi di kalangan masyarakat jelasnya semua lapisan masyarakat. Dimana LPK (Lembaga Penyiaran Komunitas) disamping lembaga media-media lain yang ingin ikut andil dan membantu kebelangsungan pemilu ini.
Akan tetapi berbeda dengan LPK sendiri,yang di dominasi oleh Rakom (Radio Komunitas) dimana radio yang notabenenya bersentuhan langsung dengan masyarakat di komunitasnya dengan segala keterbatasannya,ingin ikut serta dalam keberlangsungan pemilu ini dengan konteks lebih spesifik demi kesehjateraan masyarakat maupun komunitas radionya yakni masyarakat.
Dengan keinginan yang cukup tinggi dari rekan-rekan pegiat rakom untuk menjalankan visi mulia ini ,masih ada kendala tersendiri dari para rakom itu sendiri,bukan dari teknis maupun SDM akan tetapi lebih terkesan dari birokrasi Negara ini,dimana tertuang dari UU Pasal 92 ayat 2 yang berbunyi “Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye Peserta Pemilu.”
Dengan ini JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia) selaku jaringan nasional wadah dari para Rakom di wilayah-wilayah Indonesia ini mengajak para pegiat rakom untuk mendiskusikannya, karena menurut pandangan awal di setnas JRKI bahwa adanya pasal ini telah menunjukkan Pemerintah :
1. Menghambat proses pendidikan Politik
Kampanye bukan sekedar alat propaganda politik, tetapi ruang komunikasi antara para kandidat dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Media dalam hal ini radio komunitas juga berperan penting untuk turut serta mendialogkan mandat politik, mendokumentasikan komitmen politik para caleg dan parpol dan kedepan bisa mengawal implementasi mandat saat para caleg sudah meniadi wakil rakyat.
2. Diskriminatif terhadap LPK,
Diskriminasi ini jelas dan nyata bahwa LPK tidak memiliki kesempatan yang sama dalam mengawal proses demokrasi ini. bahkan larangan ini sesungguhhnya juga merupakan tindakan menghalangi halangi radio komunitas dalam melakukan fungsi sebagaimana diamanatkan dalam UU 32 tahun 2002 pasal 21 ayat 2 b “untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, daninformasi yang menggam-barkan identitas bangsa”.
Bisa di katakan Implikasi dari larangan ini tentu bahwa pemilu lagi lagi hanya menjadi milik elite politik dan komunitas hanya diposisikan sebagai konsumen informasi dari derasnya pemberitaan dari media mainstream saja.
Dari pemikiran diatas,maka muncul 3 pertanyaan penting untuk didiskusikan :
1. Bagaimana pandangan kita terkait dengan pasal 92 ayat 2 ?
2. Apa dampaknya jika pasal ini tetap ada/
3. Langkah apa yang perlu kita tempuh untuk situasi ini?
Dari pertanyaan diatas mendapat banyak sekali statmen dan masukan dari teman-teman di diskusi di media social group Facebook JRKI yakni menurut :
Muhammad Sodiq Asnawi yang mengungkapkan “ Rakom bahkan bias untuk mengukur kapasitas dan kapabilitas Caleg (Calon Legeslatif),Calon Kepala Daerah,juga pendidikan politik yang mendewasakan. Dipertegas Sigit Dwi Antoro Kampanye politik itu urusan gampang, yang susah pendidikan politik. Hampir semua kampanye isinya pembodohan politik saja.
Rekan atas nama Buono yang berdasarkan UUD 1945 Pasal 28f secara tegas menyatakan, setiap orang yang menjadi warga negara indonesia berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang ada, disusul dengan diberlakukannya UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran melahirkan radio komunitas sebagai salah satu saluran informasi, ruang ekspresi dan sekaligus media konsolidasi berbagai gagasan, cita-cita di tengah tengah komunitasnya. Membaca paragraf diatas maka status stasiun radio baik LPP, LPS maupun LPK adalah sama dalam kedudukan maupun dalam hukum. Dengan tegas mengusulkan untuk revisi undang-undang tersebut.
Tidak kalah menarik pendapat dari rekan dengan bukti medianya Rasidi Bragi Mataram – Bragi – Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang membidangi Perizinan Iswandi Sahputra menegaskan sebenarnya Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) dalam Undang-undang tidak diingkan hidup. Dikatakan dalam Undang- undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran LPK diberi tempat, tetapi sempit, tidak seluar Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). “Memang dalam Undang-undang kita LPK diberi tempat tapi sempit, tidak seluas LPS atau berlangganan. Yang disebut sempti, frekwensi terbatas, radiusnya terbatas sementara persyaratannya sama dengan LPS. Itu artinya sebenarnya LPK tidak diinginkan hidup. Biar nampak demokratis dipandang Eropa, Amerika dan Negara di dunia, dikasi ruang untuk LPK di pojok sana”, ungkapnya. Dikatakan Iswandi ketika diskusi dengan beberapa radio yang perizinannya bermasalah di Aula KPID NTB (4/10), ini salahnya undang undang, bukan salahnya KPI dan LPK. Ini kesalahan Undang-undangnya. “Itulah peliknya LPK” ungkapnya. Menurut Iswandi Pemerintah bersama KPI sedang menyusun Peraturan Menteri yang terkait dengan LPK yang tidak berkembang. Permen tersebut akan memberikan kemudahan bagi LPK dalam mendapatkan izin penyiaran.
Dalam arahannya Iswan Sahputra juga menghimbau lembaga penyiran jangan merasa sulit dulu dengan perizinan, walaupun faktanya sulit. Karena kalau dari awal mengurus perizinan itu sulit menjadi tidak semangat mengurusnya.“memang menurut kalangan di sejumlah negera, perizinan lembaga penyiaran di Indonesia paling sulit. Paling sulit sedunia. Butuh waktu 1 tahun normal untuk memperoleh ijin tetap”. Ungkapnya.Dikatakannya, kenyataan proses perizinan menjadi lebih dari 3 tahun dan 5 tahun, kalau stuasinya tidak normal. “Sialnya hampir situasi tidak normal, jadi proses izinnya hampir 3 tahun baru ditetapkan”, katanya menjelaskan. Sulitnya perizinan itu salah satunya karena peraturan. Ada peraturan menteri yang menghentikan proses perizinan (moratorium), padahal di banyak daerah frekwensi masih banyak bahkan tidak terpakai. Peraturan itu adalah peraturan menteri Kominfo No. 28 tahun 2008. “Peraturan menteri yang menghentikan proses perizinan padahal faktanya di daerah masih banyak frekwensi tersedia. Tapi ndak bisa diproses. Peraturan itu sebenarnya untuk menghentikan pemohon liar yang luar biasa banyak terutama di pulau jawa yang memang ketersediaan frekwensinya habis, sehingga terjadi konflik antara sesama pemohon yang tidak ada kepastian hokum”. jelasnya
Disamping itu ada permen 18, bahwa yang memeriksa berkas sekarang itu adalah Dinas Kominfo di daerah. Tidak semua SDM di daerah itu diberikan arahan bagaimana memeriksa berkas, sehingga banyak yang salah dan sering terlambat. (Rocd) Apakah LPK tidak diinginkan hidup di Indonesia??” tegasnya.
Popon Ponda Implikasi dari larangan ini bukan saja menghilangkan ruang komunikasi dialog antara para kandidat dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, tetapi yang lebih penting dari pada itu misalnya; jika “Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu” maka hal ini telah menghilangkan ruang bagi warga komunitas untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon untuk para bakal calon yang kemudian proses ini dimungkinkan untuk mendapatkan wakil rakyat yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Proses pemilihan wakil rakyat harusnya menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih).
Rekan pegiat rakom dari medan Tohap P. Simamora Tosim menuturkan “UU No.8 Tahun 2012 Ttg Pemilu DPR, DPD dan DPRD ,Pasal 92 : (2) Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye Peserta Pemilu.Isi pasal ini multi tafsir. Tafsir saya, Rakom tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye peserta Pemilu. Jika pasal ini dipertahankan, kita sebut saja, Rakom tidak pernah kampanye, hanya sosialisasi dan desiminasi seputar Pemilu dengan tujuan mencerdaskan komunitasnya sehingga menjadi pemilih yang cerdas,serta Rakom itu idealnya sebagai media sosialisasi dan desiminasi.Disini metode komunikasinya dua arah, bisa direspon pihak lain. Kalau kampanye cendrung satu arah (monopoli informasi), sedangkan Sosialisasi dan Kampanye sangat jauh beda maknanya, walaupun tujuannya bisa hamir sama. Kalau kita menyebut Kampanye (Pemilu) ada unsur-unsur yang harus dipenuhi. Jika semua unsur yang ada tidak terpenuhi maka kegiatan itu tidak disebut kampanye.Coba dilihat Peraturan KPU soal kampanye.
Mardi Yono Pasal 92 ayat 2 UU 8 Tahun 2012, lembaga penyiaran komunitas memang tidak boleh hanya dan untuk siaran satu kontestan saja tapi kalau lebih misalnya 10 parpol yang memanfaatkan rakom karena itu bagian dari pendidikan poltik, dan secara adil dan berimbang, saya rasa BISA. Apa bedanya sosialisasi dengan kampanye? Saat ini sudah banyak parpol yang sudah berkampanye di bungkus dengan sosialisasi. Beda tipis sebenarnya soal itu.
Sinam M.S menambahkan dalam UU no 8 tersebut tersebut yang dimaksud kampanye monolog, dialog dan debat sebagaimana dalam Palal 94 ayat (1) “Penyiaran Kampanye Pemilu dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran monolog, dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa atau suara pendengar, debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat”
Hartanta Setya Nugroho berkata “Pada jaman alm Tri Wijarako, radio kami dulu pernah dipakai sebagai tempat sosialisasi dari KPU Gunungkidul dan calon Bupati menyampaikan Visi dan Misi dengan porsi yang sama… kegiatan ini dapat terlaksana dengan sukses tanpa ada keberpihakan ke salah satu calon.. Untuk semua calon di berikan waktu yang sama dengan pengajuan biaya “air time” yang sama juga.. sosialisasi /iklan pengenalan calon berupa ILM juga di tawarkan dengan jumlah yang sama pula.. kegiatan ini dilakukan dengan seijin KPU GK dan justru mendapat perhatian khusus karena mempermudah mereka dalam menjalankan tugasnya.. Sayang saat ini hal tersebut belum lagi dapat dilakukan karena keterbatasan kemampuan Crew sepeninggal Almarhum,Kuncinya adalah Bagaimana pengelola radio dapat mendekati KPU biar bisa menjalin kerjasama”.
Rekan Padang Pariyaman ‘Simen Hadi mengusulkan Kalau hanya sekedar sosialisasi kandidat dibolehkan ya?Maksud sosialisasi disini seperti contoh/misalkan : Nama (…) dari Partai (…) no urut (…).
Usul dari Omis Iskandar hapus pasal ini atu kembali ke peraturan lama minimal tiga parpol yang melakukan kampanye pada rakom ya bias saja,di dung oleh rekan Gani Rachman An-Nashr sepakat dengan PakOmis Iskandar, hapus pasal ini, dan minimal harus 3 parpol.
Ibe Kom Awani Saya pikir kalau pasal ini dipertahankan sama hanya membunuh hak demokrasi LPK, maka menurutku pasal ini butuh perubahan atau sekalian di hapus saja.
Hidayat Muhammad menurut saya kita harus kembali mengacu pada nilai2 (uu 32, pp51, statuta jrki),yakni independen,di sumut kami sudah memutuskan untuk tidak memasang ILP (Iklan Layanan kampanye Politik),sekalipun pengurus jrki sumut ikut dalam pilgub sum,.(ir soekirman),sebab yg namanya iklan selalu satu arah,tidak ada ruang komunitas untuk merespon, mengkrikit dst,berbeda kalau dalam bentuk dialog yg lebih mendidik komunitas agar menggunakan hak pilihnya secara benar, tanpa dipengaruhi oleh politik uang atau cara2 yg bertentangan dgn nilai2 tsb….jd dari manapun kandidat/parpol nya kita harus lebih kritis membongkar antara fakta, track record dan visi misinya,jadi pembatasan untuk ILP itu sudah bagus supaya komunitas tidak dibodoh2i oleh iklan yg satu arah itu,yang kita minta dialog yg mendidik komunitas dibolehkan,agar terbangun dialektika yg lebih mendidik dan cerdas di tengah komunitas kita. Bahasa “Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye Peserta Pemilu.” menurut saya harus diterjemahkan secara benar,barang kali kalimat “,tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye Peserta Pemilu” itu maksudnya adalah pemutaran ILP (iklan layanan politik) yg jelas2 telah memanfaatkan rakom untuk kepentingan kampanye peserta politik,kalimat “Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat” itu maksudnya menyiarkan program dialog interaktif untuk pencerahan komunitas agr cerdas dlm menggunakan hak politiknya……mungkin harus ada penegasan tertulis dalam bagian penjelasan UU no 8 tahun 2012 tentang pemilu tersebut.
Diatas adalah beberapa pendapat dan statmen dari rekan-rekan yang dirangkum disini dengan banyak masukan dapat disimpulkan soal keberadaan UU dengan pasal tersebut diatas bahwa harus dihapus ataupun di rivisi demi kedaultan LPK khususnya Rakom. Bayu Sapta Nugraha
Diunggah Juga di web : http://jrki.or.id/?p=377
Share this article :
 
Copyright © 2011. Rakom K FM MAGELANG: LPK Dalam Pemilu . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template modify by Creating Website. Inspired from CBS News